Perkembangan Metodologi Dalam Ilmu Sejarah

0

Category :

Dalam Ilmu Sejarah dibedakan antara penelitian sejarah (metode sejarah) dan penulisan sejarah (eksplanasi) yang membutuhkan metodologi. Penelitian sejarah menekankan pada penelitian cara-cara (metode) penelitian sumber sejarah (dokumen, keterangan lisan, dsb). Penulisan sejarah menekankan pada kegiatan eksplanasi (yang pada umumnya membutuhkan metodologi).  Ahli sejarah yang meletakan dasar-dasar penelitian sejarah (metode sejarah) yang bersifat ilmiah adalah Leopold von Ranke, guru besar sejarah pada universitas Berlin yang di dirikan pada tahun 1810. Ketika masih menjadi mahasiswa Ranke sangat terpengaruh pada Filologi. Ia menganggap metode yang digunakan oleh para filolog sebagai model bagi metode penelitian sejarah. Ketika itu para filolog menyimpulkan bahwa nilai dari suatu dokumen bergantung pada jarak antara penulis dengan peristiwa-peristiwa yang dicatatnya. 


Ranke menekankan  pentingnya hubungan antara kepribadian penulis dengan apa yang dilaporkannya. Menurutnya setiap laporan mencerminkan perkembangan intelektual, situasi dan kepentingan penulisnya.  Selain menetapkan cara-cara menguji isi dokumen (kritik intern), Ranke juga menetapkan bahwa penelitian sejarah ditujukan untuk menetapkan fakta yang benar. Karena menurutnya, apa yang dilaporkan dalam sumber sejarah bukan fakta karena hanya merupakan pandangan dari penulis dokumen yang bersangkutan. Fakta sejarah adalah hasil pekerjaan ahli sejarah yang harus merekonstruksikannya berdasarkan sumber-sumber yang tersedia. Ranke adalah ahli sejarah pertama yang mensyaratkan penelitian kearsipan sebagai pokok kegiatan.


Dengan menekankan bahwa tugas utama ahli sejarah adalah mengemukakan fakta mengenai masa lampau, Ranke bermaksud menjadikan ilmu sejarah sebagai suatu disiplin yang otonom yang sederajat dengan cabang-cabang ilmu lainnya. Karena sebelumnya, sejak jaman Yunani Sejarah dianggap sebagai suatu alat untuk menilai (menghakimi, menjatuhkan vonis) , kemudian juga digunakan untuk mengajarkan moralitas baik agama maupun politik. Ucapan Ranke yang sangat terkenal wie es eigentlich gewesen (menentukan fakta seperti apa adanya, tanpa adanya ide-ide tertentu sebagai pendorongnya. Sejak Ranke ilmu Sejarah menjadi bagian dari kurikulum Perguruan Tinggi dan berkembang dengan pesat hingga kini. Dengan demikian pula muncul berbagai bentuk eksplanasi dikalangan ahli sejarah

Perkembangan ilmu sejarah hingga tahun 1970-an telah melahirkan empat metodologi sejarah sosial berbeda-beda . Pertama adalah historiografi aliran empiris positifis, kedua adalah aliran yang melihat individu saja sebagai faktor utama perubahan sosial yang bersifat intensional dengan hermeneutika sebagai metodologinya. Ketiga, adalah aliran struktural dari Perancis yang dikenal sebagai “Aliran Annales” yang deterministis. Keempat tergolong struktural juga tapi lebih dikenal sebagai metodologi fungsional atau struktural sistematis yang bertumpu pada “grand theory” Talcott Parsons dan Neil Smelser.

Pada era 1980-an muncul kritikan dari kalangan postmodernisme terhadap ilmu sejarah. Kritik itu pada awalnya ditujukan pada wacana-wacana moralistik yang menganggap pandangannya sendiri sebagai kebenaran mutlak yang tidak dapat dibantah . Kritik Postmodernisme itu kemudian berkembang menjadi kritik terhadap pandangan universialisme yang terkandung dalam suatu sistem budaya tertentu (Barat) dalam kritik sastra. Masalahnya doktrin ini juga dianggap berlaku dalam wacana-wacana ilmu alam, ilmu-ilmu sosial maupun ilmu sejarah.

Doktrin postmodernisme bersumber pada teori linguistik dari Ferdinand Saussure yang berpendapat bahwa bahasa hanyalah “signifier” (petunjuk) pada “signified” (yang ditunjuk). Kata, dalam teori tersebut tidak mengacu pada kebenaran realitas tetapi hanya pada satu konsep. Arti kata-kata baru terungkap dalam hubungannya dengan kata-kata lain dalam bahasa yang bersangkutan. Berkaitan dengan teori itu Postmodernisme beranggapan bahwa semua wacana seperti yang dikatakan jean Francoise Lyotard , hanyalah “language game”, dan sebab itu kebenaran atau obyektifitas (realitas) tidak terungkap di dalamnya. Dalam ilmu sejarah itu berarti bahwa historiografi hanyalah permainan kata-kata. Postmodernisme menyanggah kemampuan ilmu pengetahuan mengajukan kebenaran dengan mengatakan bahwa kebenaran dalam ilmu pengetahuan hanyalah suatu cara untuk melegitimasi kedudukan seorang pakar dan bahwa kebenaran ilmiah lebih banyak ditentukan oleh ideologi yang dominan pada saat tertentu.

Postmodernisme tidak mempertimbangkan bahwa setiap cabang ilmu memiliki prosedur untuk menentukan kausalitas yang mengacu pada kebenaran atau realitas. Postmodernisme sengaja melupakan bahwa setiap cabang ilmu memiliki apa yang Chirstoper Lyod sebagai “ structure of reasoning”.

Dalam perkembangan nya doktrin postmodernisme makin gencar dikembangkan oleh berbagai ahli dalam berbagai cabang ilmu. Postmodernisme beranggapan bahwa doktrinya relevan bagi semua cabang ilmu atau wacana, karena semua cabang ilmu menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya..

Berkaitan dengan hal tersebut, muncul reaksi dari kelompok ilmu terhadap kritikan postmodernisme. Muncul berbagai usaha untuk menegakan kembali nilai-nilai tentang kebenaran ilmiah. Gerakan ini terutama muncul karena berkembangnya aliran realisme dalam filsafat ilmu sejak tahun 1980-an. Sejumlah ahli sejarah mencoba mengatasi serangan dari postmodernisme itu dengan upaya menegakan kembali teori korespodensi dalam ilmu sejarah. Dengan kata lain , mereka berupaya mencari cara-cara yang bisa menjamin realitas sepenuhnya dalam ilmu sejarah, bukan sekedar kaitan atau korelasi saja. Inilah yang oleh sementara ahli disebut sebagai pendekatan strukturis, yang berbeda dengan pendekatan struktural yang bersumber pada aliran annales atau sosiologi Talcot Parsons.

Pendekatan Strukturis ini di kembangkan oleh sejarawan ekonomi Inggrisr Christopher Llyod .Untuk menjelaskan perbedaan antara metodologi strukturis dengan metodologi-metodologi lainnya, Llyod membedakan antara a) metodologi individualis yang mempelajari individu saja, b) metodologi holisme yang mempelajari struktur sosial saja, dan c) metodologi strukturis yang mencakup individu dan struktur sosial dalam hubungan “dualisme simbiosis”.

Kalangan ahli sejarah strukturis meninggalkan pendekatan empiris dalam ilmu sejarah dan memanfaatkan teori-teori sosiologi tertentu, khususnya konsep-konsep “emergency” dan “agency”. Pendekatan ini mengacu pada cara kerja (“structure of reasoning”) dalam ilmu-ilmu alam, tetapi disesuaikan dengan ilmu sejarah dimana data hanya dapat diperoleh dari peninggalan-peninggalan dari masa lampau (sumber sejarah)

Dikatakan mirip ilmu-ilmu alam karena pertama-tama realitas yang dicari bukan keseluruhan realitas (yang hanya diketahui oleh tuhan), tetapi hanya apa yang dinamakan “causal factor” yang tidak kasat mata (unobservable). Seperti halnya dalam ilmu alam, fenomena dapat disaksikan oleh panca indra manusia (observable), tetapi sebab-sebab terjadinya fenomena itu tidak kasat mata (unobservable). Sebagai contoh, benda jatuh ke bawah (fenomena , observable), tetapi causal mechanismnya yaitu grafitasi, tidak kasat mata (unobservable); suara radio dapat di dengar , atau gambar televisi dapat dilihat tapi medan magnetik yang menyebabkannya tidak dapat ditangkap panca indra (unobservable).

Demikian pula pendekatan strukturis bertujuan menampilkan realitas dalam bentuk causal factor yang tidak tertangkap pancaindra . fenomena-fenomena seperti pemberontakan, revolusi, perubahan sosial dsb dapat ditangkap melalui panca indra karena terkandung dalam sumber sejarah yang dapat dibaca dan dipelajari. Tetapi sebab musababnya tidak muncul secara empiris dalam sumber sejarah, karena tersembunyi dalam struktur sosial yang unobservable itu. Secara teoritis terdapat interaksi antara manusia (individu atau kelompok) dan struktur sosial dimana mereka berasal. Maka untuk menampilkan causal factor yang unobservable itu seorang sejarawan yang mendapat sumber datanya dari sumber sejarah harus menggunakannya untuk menganalisa struktur sosial agar dapat menampilkan interaksi antara manusia yang kongkret (observable) dan struktur sosial yang tidak kasat mata (unobservable).

Dalam metodologi strukturis , peristiwa dan struktur sosial tidak bersifat dikotomik tetapi merupakan suatu dualisme simbiotik yang berdialektika. Maksudnya, peristiwa mengandung kekuatan mengubah struktur sosial, sedangkan struktur sosial mengandung hambatan atau dorongan bagi tindakan perubahan itu. Pengertian Struktur sosial yang unobservable dalam pendekatan ini bukanlah kumpulan manusia yang kongkret (agregasi), tetapi suatu unit yang memiliki ciri-ciri umum yang bersifat “emergence” berupa peran-peran, aturan-aturan, pola interaksi dan pemikiran (mentalite). Menurut pendekatan strukturis , perubahan sosial tidak disebabkan struktur sosial lainnya tetapi perubahan struktural justru disebabkan tindakan-tindakan konkret dan observable dari manusia (individu atau kolektifitas) disebut (agency) yang dengan sengaja mengubah peran, aturan, interaksi berdasarkan pemikiran tertentu. Manusia dilahirkan dalam struktur sosial tertentu dan memiliki kemampuan untuk memproduksi atau mentransformasi struktur sosial dimana ia berasal. (Llyod 1993; 38-40). Perubahan (struktur )sosial adalah tujuan utama dari metodologi strukturis.

Pemikiran , pandangan, wawasan manusia kongkret yang menjadi anggota suatu kelompok sosial tertentu terkandung dalam sumber sejarah, yang dalam pendekatan strukturis disebut sebagai “exspressed intentions”. Causal factor yang diperoleh melalui analisa teoritis atas sumber sejarah itu dapat diuji kembali kebenarannya pada “ekspressed intentions” lain. Dengan demikian seperti halnya dalam ilmu-ilmu alam, teori sejarah memiliki kemampuan prediksi.

Sebab musabab dalam metodologi strukturis ini memiliki ciri-ciri universal yang dapat dirumuskan dalam bentuk wacana. Namun hakekat ilmu sejarah sebagai “ ilmu yang mempelajari manusia dalam dimensi waktu” menyebabkan para ahli sejarah menyadari bahwa unsur perubahan senantiasa menentukan penjelasannya tentang peristiwa-peristiwa. Sebab itu perbedaan-perbedaan waktu dan tempat juga membatasi rumusan causal factors. Inilah perbedaan lainnya antara ilmu sejarah dan ilmu-ilmu alam. Pendekatan strukturis dalam ilmu sejarah merupakan kulminasi dari perkembangan metodologi sejarah dan terwujud sebagai perpaduan antara positivisme dan hermeneutika yang sebelumnya dianggap bertentangan, serta mengatasi dikotomi antara peristiwa dan struktur sosial sebagai obyek penelitian sejarah, dan upaya mengatasi kelemahan metodologis yang melahirkan postmodernisme dalam ilmu sejarah.

0 komentar:

Posting Komentar